Jumat, 21 Maret 2014

AwayDays Cilacap ( Oleh Sleman Fans )


Awaydays Cilacap : Sebuah Tragedi Tentang (Gas) Air Mata

Hari kerja bukanlah waktu yang ideal untuk melakukan perjalanan tandang ke luar kota. Namun apa mau dikata, realita tidak selalu berbalas sesuai dengan harapan. Dan benar saja, Jum’at, 14 Maret 2014, PSS Sleman justru melanjutkan rangkaian ujicobanya di markas PSCS Cilacap, setelah tepat sehari sebelumnya menjajal Banyumas Selection di Stadion Satria Banyumas. Seolah belum cukup dilema yang saya alami, keraguan ini semakin membesar saat mengetahui hasil akhir di Banyumas justru berbuah kemenangan tipis tuan rumah atas pasukan Elang Jawa. Sempat terbersit rasa kesal dan kecewa. Tapi tak apa, anggap saja ini sebagai sebuah permulaan dari perjalanan panjang …

Setelah menghabiskan separuh siang di atas Bus Efisiensi, Pulau Nusakambangan yang menjadi ikon Cilacap pun mulai tampak. Dan sekitar pukul 14.30 WIB, kaki ini sudah menyeberangi Jl. Gatot Subroto untuk menuju komplek Stadion Wijayakusuma, Cilacap. Dari kejauhan, lima buah bus besar dari Sleman Fans telah berjajar rapi di jalan sisi utara stadion. Sekelebatan, atribut hijau dan hitam tampak terselip di antara warna biru tim tuan rumah. Setelah beberapa saat berjalan, benar saja, halaman barat stadion ternyata telah menjadi pusat konsentrasi pendukung tim asal Sleman itu. Menjadi sedikit kejutan pula saat melihat bahwa terdapat puluhan kendaraan pribadi dengan plat nomor Yogyakarta yang justru tampak lebih dominan di area tersebut Sepintas berada disana, Stadion Wijayakusuma justru mengingatkan saya pada Stadion Tridadi Sleman. Lokasinya yang sedikit berjarak dari jalan raya utama dan luas areanya yang tidak terlalu besar serta berhimpit dengan bangunan-bangunan lain dan juga perumahan warga, membuat stadion ini tampak samar dari luar. Hanya saja, disana ada empat menara lampu menjulang yang membuatnya sedikit mudah diidentifikasi.

Dan jarum jam mulai mendekati waktu sepakmula. Meskipun datang secara pribadi dan terpisah, saya ikut memasuki stadion melalui pintu 4 yang juga merupakan akses masuk bagi rombongan Brigata Curva Sud 1976. Di dalam stadion sendiri, suasana masih tampak lengang. Praktis hanya tribun timur dan tribun selatan saja yang terlihat cukup banyak kerumunan suporter. Sementara di sisi lainnya, tampak cukup banyak ruang yang masih kosong. Menjelang laga dimulai, warna hitam dan hijau telah tampak mendiami sektor barat daya stadion hingga sektor selatan. Sementara di sektor utara, puluhan Sleman Fans lain dari Slemania juga tampak menghadirkan warna lain di stadion. Dan jika dikalkulasi, mungkin perbandingan antara pendukung PSCS Cilacap dengan Sleman Fans yang hadir di Stadion Wijayakusuma berkisar di angka 1,5 : 1, alias hampir seimbang. Hal ini tentu tak lepas dari minimnya animo penonton lokal yang hadir pada laga PSCS Vs PSS tersebut. Bahkan, dengan digunakannya tiket sisa dari pertandingan PSCS Vs Persitara untuk laga di Ju’mat sore itu, menjadi sebuah hal yang menguatkan asumsi tersebut.

Kembali ke lapangan. Meskipun sempat sedikit mundur dari waktu semula, sepakmula laga pun dilakukan. PSS Sleman yang mengenakan kostum latihan berwarna biru tampak menurunkan seluruh pemain terbaiknya. Guy Junior, Kristian Adelmund, Saktiawan Sinaga, hingga Waluyo diturunkan sedari awal untuk menghadapi Laskar Nusakambangan tersebut. Dalam sepuluh menit pertama, PSCS Cilacap tampak lebih dominan dan nyaman dalam mengalirkan pola permainan mereka. Sementara di kubu Sleman, aliran bola justru tampak tersendat. Pergerakan antar lini seringkali masih belum padu hingga akhirnya pertandingan sempat dihentikan sejenak oleh wasit karena asap smoke bomb yang dinyalakan dari tribun selatan stadion.
Ya, dalam kurun waktu enam bulan terakhir ini flare, strobo, smoke bomb, dan fireworks memang sedang menjadi pergunjingan di sepakbola tanah air. Keputusan PSSI yang mengharamkan dan akan menghukum tim yang fans-nya kedapatan menggunakan barang-barang tersebut di dalam stadion justru membuat polemik semakin panas. Vonis hukuman karenanya sudah banyak dijatuhkan, namun ketegasan ini tetap saja membuahkan resistensi. Dalam penangkapan saya, langkah represif dari PSSI ini sepertinya justru dinilai oleh sebagian kelompok penikmat sepakbola Indonesia yang kritis sebagai sebuah antiklimaks dari kinerja federasi dalam membangun kompetisi sepakbola yang sehat dan terarah. Sebuah antiklimaks karena PSSI tampak begitu perkasa dan berwibawa saat menangani permasalah yang remeh temeh dan tidak menyentuh substansi dari sebuah kompetisi sepakbola yang sehat dan hanya berkutat pada hal-hal yang sepele dan berada di tataran permukaan saja. Kebijakan seperti larangan untuk memasang atribut suporter di pagar tribun sisi timur (yang saya asumsikan dilakukan untuk kepentingan sponsor) hingga yang terbaru adalah pelarangan segala bentuk flare, strobo, smoke bomb, dan fireworks di atas tribun menjadi beberapa gambaran atas kondisi tersebut.

Disisi lain, PSSI sebagai federasi sepakbola tertinggi tampak sedemikan kompromis terhadap aspek-aspek yang justru menjadi fundamental bagi terlahirnya kompetisi sepakbola yang sehat. Tidak perlu mundur terlalu jauh, toleransi waktu hingga diloloskannya kesebelasan yang bermasalah dengan aspek finansial, sarana prasarana, pembinaan hingga aspek legal ke kompetisi ISL menjadi sebuah contoh nyata betapa lembeknya PSSI. Sementara, saat para pemain dan pelatih asing meregang nyawa dengan gaji yang tertunggak, PSSI seolah tidak mampu hadir sebagai sosok orangtua yang secara sigap berani memasang badan dan mempertanggungjawabkan kesalahan klub di bawah naungannya. Lain lagi saat unifikasi liga, ketimpangan dengan menyingkirkan tim-tim yang pernah berkompetisi di bawah operator LPIS, tampak jelas tergambar di depan mata. Kemudian hal klise yang pemecahannya seperti seolah sedang menunggu godot adalah permasalahan mengenai kualitas wasit. Hal-hal krusial tersebut yang seharusnya menjadi pra-kondisi dari sebuah kompetisi berkelas dan berkualitas justru tampak tidak mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Tapi, ah sudahlah, kami bisa apa memang….
Dan mungkin, asap yang membubung di kurva selatan Stadion Wijayakusuma ini adalah sebuah simbol perlawanan. Sebuah simbol kekecewaan atas kebusukan dari federasi yang tak pernah usai. Perlahan, seiring dengan meredanya ketegangan antara kepolisian dengan suporter PSS Sleman yang ada di tribun selatan, asap pun mulai memudar. Beberapa pemain seperti Kristian Adelmund hingga Aang Suparman tampak mendekat ke tribun selatan untuk mengkondusifkan suasana. Permainan berlanjut, PSS Sleman tampak mulai berusaha mengembangkan permainan. Namun, tusukan-tusukan dari sayap yang ada tampak tidak sekuat dua musim lalu. Meski beberapa kali sempat mengancam gawang PSCS Cilacap melalui sepakan duo pemain asing, Adelmund dan Guy Junior, tidak ada gol yang tercipta. Kejutan justru hadir saat sebuah sepakan dari bola mati menghadirkan kemelut di depan gawan PSS Sleman. Seorang pemain PSCS Cilacap yang lepas dari pengawalan pun mencocor bola masuk ke gawang. Kedudukan 1-0 untuk tuan rumah bertahan hingga turun minum.

Babak kedua, PSS Sleman tampil dengan semangat untuk mengejar ketertinggalan. Namun lagi-lagi, level permainan Elang Jawa masih belum menemukan zona nyamannya. Umpan pendek satu dua antar pemain belum berjalan baik. Menjadi semakin buruk ketika kepemimpinan wasit dan terutama hakim garis pertandingan banyak diwarnai keputusan yang janggal dan berat sebelah. Lemparan kedalam, tendangan sudut yang seharusnya diperoleh pemain PSS Sleman justru diberikan kepada lawan. Begitu pula saat menyerang, lambaian bendera offside seolah selalu dikibarkan kepada pemain PSS Sleman. Situasi mulai memanas. Saktiawan Sinaga yang berada di lapangan hingga M. Irfan yang sudah ditarik di bangku cadangan tampak beberapa kali terpancing emosinya. Pun begitu dengan situasi di tribun. Sekali dua kali mungkin masih wajar, namun ketikan terus berulang, para suporter yang hadir pun pasti mulai mendidih emosinya. Hujatan pada wasit mulai terdengar hingga beberapa lemparan gelas plastik air mineral sempat terjadi. Asap kekecewaan mulai membubung lagi ke angkasa. Sungguh situasi mulai terasa tidak nyaman disana….
Hingga entah apa penyebabnya, suporter dari kedua kubu di sektor selatan tampak terlihat saling dorong dan pukul. Dengan keberadaan polisi yang sedari tadi berjaga di sektor tersebut, seharusnya keributan tersebut masih tampak dalam batasan yang bisa untuk ditangani tanpa menimbulkan korban ataupun keributan yang lebih besar. Namun sial, dengan sangat gegabah polisi melepaskan beberapa tembakan gas air mata. Pertandingan spontan dihentikan dan di tribun penonton tercerai berai ke berbagai penjuru arah. Dalam insiden ini, polisi seolah menunggu momen pembalasan atas kegagalan mereka dalam memadamkan smoke bomb di pertengahan babak pertama tadi. Meskipun ada dua kubu yang terlibat dalam kericuhan, semua polisi tampak lebih asyik memukul mundur suporter PSS Sleman. Bahkan semua gas air mata juga ditembakkan ke arah suporter PSS Sleman yang berusaha menyelamatkan diri menuju pintu keluar stadion. Sementara beberapa oknum suporter tuan rumah dengan leluasa melempari kerumunan suporter PSS Sleman dengan leluasanya.

Naas bagi saya dan juga rekan-rekan suporter yang bermaksud berlari keluar menghindari bentrokan. Bersama ratusan orang dengan mata perih hingga kemerahan dan saluran pernafasan yang tercekat hingga terasa panas, kami justru harus terjebak di akses pintu keluar. Kadar oksigen yang kian tipis di dalam paru-paru kami semakin membuat situasi menjadi panik. Tak mampu lagi mata ini untuk melihat kedepan. Hanya kerumunan orang yang saling berhimpitan tidak karuan yang bisa saya ingat. Mutlak, saya tidak bisa menggerakkan satupun bagian tubuh saya karena hebatnya kerumunan yang terjadi. Hingga perlahan hanya bisa pasrah saat badan ini mulai jatuh karena dorongan tepat di kubangan lumpur depan pintu stadion. Akses keluar tampak di depan mata tapi badan ini tertindih badan puluhan orang lainnya. Badan ini mulai lemah dan nafas ini mulai berat. Apa yang harus terjadi, terjadilah, begitu yang tersirat dalam pikiran saya. Kepasrahan ini semakin menguat saat dari rerimbunan di selatan stadion, tampak beberapa oknum suporter tuan rumah berlarian dan melemparkan batu seukuran tangan orang dewasa ke arah pendukung PSS Sleman yang sebagian sudah berada di luar stadion. Hingga saat hampir putus asa, seseorang berjersey putih memmbantu menarik tangan saya untuk lepas dari tumpukan manusia. Sekali menarik tangan dan gagal. Dua kali hingga tiga kali menarik lagi dan gagal. Saat beliau tampak menyerah dan perlahan kaki yang sempat terjepit ini akhirnya bisa ditarik. Thank God for saving my life…..
Tumpukan suporter di depan gerbang stadion mulai tampak terurai atas bantuan dari rekan-rekan lainnya. Situasi di luar sungguh sangat chaos. Puluhan orang pingsan kehabisan oksigen, sebagian lagi mengalami memar dan sendi tulang yang bergeser, beberapa di antaranya juga ada yang berlumuran darah karena lemparan batu. Ini gila, begitu pikir saya. Dengan tubuh penuh lumpur dan badan yang rasanya mau hancur, saya masih harus mencari keberadaan kakak dan juga seorang teman saya. Beruntung mereka selamat dengan kondisi yang lebih baik dan sudah mengevakuasi diri ke tengah lapangan pertandingan. Kembali masuk ke dalam stadion, terlihat orang-orang yang tergeletak dan termangu tak mengira tragedi yang baru saja dialami. Hilir mudik orang yang pingsan masih saja terlihat. Sungguh, perih untuk dirasakan……

Di tengah lapangan, kami semua mencoba untuk menenangkan diri kembali. Meskipun beberapa kali masih terjadi provokasi dari suporter tuan rumah, semuanya tampak lebih terkendali. Meskipun lemas, masih bisa terlihat di tribun utara, Ultras Cilacap menjadi satu-satunya kelompok suporter PSCS Cilacap yang masih setia bertahan di dalam stadion dan duduk berdampingan dengan rekan-rekan Slemania. Sungguh, rasa hormat kepada mereka yang bersedia meluangkan waktu untuk menunggu proses evakuasi suporter PSS Sleman. Saat oknum suporter tuan rumah lainnya sedang sibuk merusak bus yang dikendarai Sleman Fans, mereka justru bisa dengan tenang menahan emosinya. Meskipun tidak banyak hal yang dapat mereka bantu, setidaknya mereka sempat turun ke lapangan dan menyampaikan simpati atas insiden yang terjadi. Ya, selalu saja ada orang baik di tengah situasi yang tidak baik…
Matahari mulai menghilang dari tatapan. Masih belum terpikir bagaimana caranya untuk dapat pulang ke Sleman mengingat kami berangkat menggunakan bus trayek antar kota. Di tiket kami tertulis bahwa bus terakhir akan berangkat ke Yogyakarta pada pukul 7 malam tepat. Namun rasanya seperti menyabung nyawa jika kami nekat menuju terminal pada saat itu. Meskipun tanpa atribut, cara berpakaian dan tas ransel kami tetap menjadi penanda bahwa kami bukanlah warga lokal. Entahlah, kami tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya…
Sekitar setengah delapan malam, hujan deras mengguyur Cilacap dan pada saat itu pula para Sleman Fans dievakuasi keluar menuju ke daerah yang dirasa lebih aman. Kami pun ikut dalam evakuasi tersebut. Setiba disana, kami putuskan untuk menumpang bus dari rombongan Brigata Curva Sud 1976. Beruntung, hari itu kami kembali bertemu orang -orang baik dari komunitas Militia 1976 yang mengijinkan kami untuk ikut sampai Sleman. Thank God…

Menjelang tengah malam, kejutan tiba. Empat dari lima bus yang ada tampak hancur. Seluruh kaca bus yang ada pecah berserakan. Beberapa barang yang ditinggal di dalam bus juga dikabarkan hilang dijarah. Spontan, bersama-sama, semua yang ada disitu turut membersihkan pecahan keca dan batu yang bertebaran dimana-mana. Sesaat kemudian, kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami pulang ke Sleman. Ya, dengan bus yang hampir 90% kacanya pecah tentunya. Bukan pengalaman yang menyenangkan, namun tidak akan pernah terlupakan.

Hingga menjelang subuh, bus tanpa kaca ini mulai memasuki Yogyakarta dengan selamat. Ya, seperti yang kami janjikan, Sleman kami datang, kami pulang. Dan setiap ketidaknyamanan yang kami alami sepanjang perjalanan ini akan menjadi sebuah lem perekat yang semakin membangun semangat kekeluargaan dalam diri kami.
Tiba sudah kami di tanah yang selalu dipuja, Sleman. Terimakasih untuk semua pengalamannya. Terimakasih untuk semua pembelajarannya. Dan mengenai tragedi kemarin, saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh salah satu akun Sleman Fans, bahwa semua yang ada di Stadion Wijayakusuma kemarin adalah pelaku sekaligus korban. Hari sudah berlalu. Bukan lagi waktu yang tepat untuk mencari siapa yang salah, namun bagaimana agar kedepan jangan terulang masalah yang sama. Masih ada tugas dan kewajiban yang lain paska insiden ini dimana sekali lagi, solidaritas dan soliditas kita diuji. Mari semuanya kita songgo bareng dan akhir kata, sampai jumpa di awaydays berikutnya, kawan……..



Penulis Artikel ini Adalah seorang Sleman Fans yang ikut Awaydays di Cilacap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar